Keris ialah sejenis senjata pendek kebangsaan Melayu yang digunakan
sejak melebihi 600 tahun dahulu. Senjata ini memang unik di dunia Melayu
dan boleh didapati di kawasan berpenduduk Melayu seperti Malaysia,
Indonesia, Singapura, Thailand Selatan, Filipina Selatan(Mindanao), dan
Brunei.
Keris digunakan untuk mempertahankan diri (misalnya sewaktu
bersilat) dan sebagai alat kebesaran diraja. Senjata ini juga merupakan
lambang kedaulatan orang Melayu. Keris yang paling masyhur ialah keris
Taming Sari yang merupakan senjata Hang Tuah, seorang pahlawan Melayu
yang terkenal.
Keris berasal dari Kepulauan Jawa dan keris purba telah digunakan
antara abad ke-9 dan abad ke-14. Senjata ini terbahagi kepada tiga
bahagian, yaitu mata, hulu dan sarung. Keris sering dikaitkan dengan
kuasa mistik oleh orang Melayu pada zaman dahulu. Antara lain, terdapat
kepercayaan bahawa keris mempunyai semangatnya yang tersendiri.
Keris menurut amalan Melayu tradisional perlu dijaga dengan cara
diperasapkan pada masa-masa tertentu, malam Jumat misalnya. Ada juga
amalan mengasamlimaukan keris sebagai cara untuk menjaga logam keris dan
juga untuk menambah bisanya. Ada pepatah yang menyatakan : "Penghargaan
pada seseorang tergantung karena busananya." Mungkin pepatah itu lahir
dari pandangan psikolog yang mendasarkan pada kerapian, kebersihan
busana yang dipakai seseorang itu menunjukkan watak atau karakter yang
ada dalam diri orang itu.Di kalangan masyarakat Jawa Tengah pada umumnya
untuk suatu perhelatan tertentu, misalnya pada upacara perkawinan, para
kaum prianya harus mengenakan busana Jawi jangkep (busana Jawa
lengkap).
Dan kewajiban itu harus ditaati terutama oleh mempelai pria,
yaitu harus menggunakan/memakai busana pengantin gaya Jawa yaitu berkain
batik, baju pengantin, tutup kepala (kuluk) dan juga sebilah keris
diselipkan di pinggang. Mengapa harus keris? Karena keris itu oleh
kalangan masyarakat di Jawa dilambangkan sebagai symbol "kejantanan."
Dan terkadang apabila karena suatu sebab pengantin prianya berhalangan
hadir dalam upacara temu pengantin, maka ia diwakili sebilah keris.
Keris merupakan lambang pusaka.
Pandangan ini sebenarnya berawal dari kepercayaan masyarakat Jawa
dulu, bahwa awal mula eksistensi mahkluk di bumi atau di dunia
bersumber dari filsafat agraris, yaitu dari menyatunya unsur lelaki
dengan unsur perempuan. Di dunia ini Allah Swt, menciptakan makhluk
dalam dua jenis seks yaitu lelaki dan perempuan, baik manusia, hewan,
maupun tumbuh-tumbuhan. Kepercayaan pada filsafat agraris ini sangat
mendasar di lingkungan keluarga besar Karaton di Jawa, seperti Karaton
Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan lain-lain. Kepercayaan
itu mulanya dari Hinduisme yang pernah dianut oleh masyarakat di Jawa.
Lalu muncul pula kepercayaan tentang bapa angkasa dan ibu bumi/pertiwi.
Yang juga dekat dengan kepercayaan filsafat agraris di masyarakat Jawa
terwujud dalam bentuk upacara kirab pusaka pada menjelang
satu Sura dalam kalender Jawa dengan mengkirabkan pusaka unggulan
Karaton yang terdiri dari senjata tajam: tombak pusaka, pisau besar
(bendho). Arak-arakan pengirab senjata pusaka unggulan Karaton berjalan
mengelilingi komplek Karaton sambil memusatkan pikiran, perasaan, memuji
dan memohon kepada Sang Maha Pencipta alam semesta, untuk beroleh
perlindungan, kebahagiaan, kesejahteraan lahir dan batin.
Fungsi utama dari senjata tajam pusaka dulu adalah alat untuk
membela diri dari serangan musuh, dan binatang atau untuk membunuh
musuh. Namun kemudian fungsi dari senjata tajam seperti keris pusaka
atau tombak pusaka itu berubah. Di masa damai, kadang orang
menggunakan keris hanya sebagai kelengkapan busana upacara
kebesaran saat temu pengantin. Maka keris pun dihias dengan intan atau
berlian pada pangkal hulu keris. Bahkan sarungnya yang terbuat dari
logam diukir sedemikian indah, berlapis emas berkilauan
sebagaikebanggaan pemakainya. Lalu, tak urung keris itu menjadi komoditi
bisnis yang tinggi nilainya.
Tosan Aji atau senjata pusaka itu bukan hanya keris dan tombak
khas Jawa saja,melainkan hampir seluruh daerah di Indonesia memiliki
senjata tajam pusaka andalan,seperti rencong di Aceh, badik di Makasar,
pedang, tombak berujung tig (trisula), keris bali, dan lain-lain.
Ketika Sultan Agung menyerang Kadipaten Pati dengan gelar perang
Garudha Nglayang, Supit Urang, Wukir Jaladri, atau gelar Dirada Meta,
prajurit yang mendampingi menggunakan senjata tombak yang wajahnya
diukir gambar kalacakra.
Keris pusaka atau tombak pusaka yang merupakan pusaka unggulan itu
keampuhannya bukan saja karena dibuat dari unsur besi baja, besi, nikel,
bahkan dicampur dengan unsure batu meteorid yang jatuh dari angkasa
sehingga kokoh kuat, tetapi cara pembuatannya disertai dengan iringan
doa kepada Sang Maha Pencipta Alam (Allah SWT) dengan suatu upaya
spiritual oleh Sang Empu. Sehingga kekuatan spiritual Sang Maha Pencipta
Alam itu pun dipercayai orang sebagai kekuatan magis atau mengandung
tuah sehingga dapat mempengaruhi pihak lawan menjadi ketakutan kepada
pemakai senjata pusaka itu. Pernah ada suatu pendapat yang berdasarkan
pada tes ilmiah terhadap keris pusaka dan dinyatakan bahwa keris pusaka
itu mengeluarkan energi/kekuatan yang tidak kasat mata (tak tampak
dengan mata biasa). Yang menarik hati adalah keris yang dipakai untuk
kelengkapan busana pengantin pria khas Jawa. Keris itu dihiasi dengan
untaian bunga mawar melati yang dikalungkan pada hulu batang keris.
Ternyata itu bukan hanya sekedar hiasan, melainkan mengandung makna
untuk mengingatkan orang agar jangan memiliki watak beringas, emosional,
pemarah, adigang-adigung-adiguna, sewenang-wenang dan mau menangnya
sendiri seperti watak Harya Penangsang.
Kaitannya dengan Harya Penangsang ialah saat Harya Penangsang
berperang melawan Sutawijaya, karena Penangsang pemarah, emosional,
tidak bisa menahan diri, perutnya tertusuk tombak Kyai Plered yang
dihujamkan oleh Sutawijaya. Usus keluar dari perutnya yang robek. Dalam
keadaan ingin balas dendam dengan penuh kemarahan Penangsang yang sudah
kesakitan itu mengalungkan ususnya ke hulu keris di pinggangnya. Ia
terus menyerang musuhnya. Pada suatu saat Penangsang akan menusuk
lawannya dengan keris Kyai Setan Kober di bagian pinggang, begitu keris
dihunus, ususnya terputus oleh mata keris pusakanya. Penangsang mati
dalam perang dahsyat yang menelan banyak korban. Dari peristiwa itulah
muncul ide keris pengantin dengan hiasan untaian bunga mawar dan melati.
Tosan aji atau senjata pusaka seperti tombak, keris dan lain-lain
itu bisa menimbulkan rasa keberanian yang luar biasa kepada pemilik
atau pembawanya. Orang menyebut itu sebagai piyandel, penambah
kepercayaan diri, bahkan keris pusaka atau tombak pusaka yang diberikan
oleh Sang Raja terhadap bangsawan Karaton itu mengandung kepercayaan
Sang Raja terhadap bangsawan unggulan itu. Namun manakala kepercayaan
sang raja itu dirusak oleh perilaku buruk sang adipati yang diberi keris
tersebut, maka keris pusaka pemberian itu akan ditarik/diminta kembali
oleh sang raja.
Hubungan keris dengan sarungnya secara khusus oleh masyarakat
Jawa diartikan secara filosofi sebagai hubungan akrab, menyatu untuk
mencapai keharmonisan hidup di dunia. Maka lahirlah filosofi
"manunggaling kawula – Gusti", bersatunya abdi dengan rajanya,
bersatunya insan kamil dengan Penciptanya, bersatunya rakyat dengan
pemimpinnya, sehingga kehidupan selalu aman damai, tentram, bahagia,
sehat sejahtera. Selain saling menghormati satu dengan yang lain
masing-masing juga harus tahu diri untuk berkarya sesuai dengan porsi
dan fungsinya masing-masing secara benar. Namun demikian, makna yang
dalam dari tosan aji sebagai karya seni budaya nasional yang mengandung
pelbagai aspek dalam kehidupan masyarakat Jawa pada umumnya,kini
terancam perkembangannya karena aspek teknologi sebagai sahabat
budayanya kurang diminati ketimbang aspek legenda dan magisnya.
Empu Dari Zaman Ke Zaman
Dua arti dalam istilah empu, pertama dapat berarti sebutan
kehormatan misalnya Empu Sedah atau Empu Panuluh. Arti yang kedua adalah
‘Ahli’ dalam pembuatan ‘Keris’. Dalam kesempatan ini, Empu yang kami
bicarakan adalah seseorang yang ahli dalam pembuatan keris. Dengan
tercatatatnya berbagai nama ‘keris’ pastilah ada yang membuat.
Pertama-tama yang harus diketahui adalah tahapan zaman terlahirnya
‘keris’ itu, kemudian meneliti bahan keris, dan ciri khas sistem
pembuatan keris. Ilmu untuk kepentingan itu dinamakan ‘Tangguh’. Dengan
ilmu tangguh itu, kita dapat mengenali nama-nama para Empu dan hasil
karyanya yang berupa bilahan-bilahan keris, pedang, tombak, dan
lain-lainnya. Adapun pembagian tahapan-tahapan zaman itu adalah sebagai
berikut:
1. Kuno (Budho) tahun 125 M – 1125 M
meliputi kerajaan-kerajaan: Purwacarita, Medang Siwanda, medang
Kamulan, Tulisan, Gilingwesi, Mamenang, Penggiling Wiraradya, Kahuripan
dan Kediri.
2. Madyo Kuno (Kuno Pertengahan) tahun 1126 M – 1250 M.
Meliputi kerajaan-kerajaan : Jenggala, Kediri, Pajajaran dan Cirebon.
3. Sepuh Tengah (Tua Pertengahan) tahun 1251 M – 1459 M
Meliputi Kerajaan-kerajaan : Jenggala, Kediri, Tuban, Madura, Majapahit dan Blambangan.
4. Tengahan (Pertengahan) tahun 1460 M – 1613 M
Meliputi Kerajaan-kerajaan : Demak, Pajang, Madiun, dan Mataram
5. Nom (Muda) tahun 1614 M. Sampai sekarang
Meliputi Kerajaan-kerajaan : Kartasura dan Surakarta.
Telah kami ketengahkan tahapan-tahapan zaman Kerajaan yang
mempunyai hubungan langsung dengan tahapan zaman Perkerisan, dengan
demikian pada setiap zaman kerajaan itu terdapat beberapa orang Eyang
yang bertugas untuk menciptakan keris.
Keris-keris ciptaan Empu itu setiap zaman mempunyai ciri-ciri
khas tersendiri. Sehingga para Pendata benda pusaka itu tidak
kebingungan. Ciri khas terletak pada segi garap dan kwalitas besinya.
Kwalitas besi merupakan ciri khas yang paling menonjol, sesuai dengan
tingkat sistem pengolahan besi pada zaman itu, juga penggunaan bahan
‘Pamor’ yang mempunyai tahapan-tahapan pula. Bahan pamor yang mula-mula
dipergunakan batu ‘meteor atau batu bintang’ yang dihancurkan dengan
menumbuknya hingga seperti tepung kemudian kita mengenali titanium
semacam besi warnanya keputihan seperti perak, besi titanium
dipergunakan pula sebagai bahan pamor. Titanium mempunyai sifat keras
dan tidak dapat berkarat, sehingga baik sekali
untuk bahan pamor. Sesuai dengan asalnya di Prambanan maka pamor
tersebut dinamakan pamor Prambanan. Keris dengan pamor Prambanan dapat
dipastikan bahwa keris tersebut termasuk bertangguh Nom. Karena
diketemukannya bahan pamor Prambanan itu pada jaman Kerajaan Mataram
Kartasura (1680-1744).
Keris Diakui Dunia
Setelah wayang pada tahun 2003, kini giliran keris Indonesia
diakui sebagai salah satu warisan budaya dunia yang mesti dilestarikan.
Pengakuan UNESCO di Paris 25 November 2005 itu tentu merupakan percikan
berita segar di tengah serba keterpurukan Indonesia akhir-akhir ini.
Keris, seperti juga teater Kabuki dari Jepang, pentas tradisional
India— Ramlila yang mengetengahkan epik Ramayana—Samba dari Brasil, Mak
Yong dari Melayu, ”Masih hidup dan dihayati, tradisi masih berlanjut.
Berbeda dengan budaya samurai di Jepang yang kini sudah mati,” ungkap
Direktur Jenderal Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan
Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) Koichiro Matsuura, yang
ditemui Kompas pekan lalu, beberapa saat setelah menyerahkan sertifikat
pengakuan UNESCO itu kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla di Jakarta.
Sebenarnya ada 64 warisan budaya yang diusulkan berbagai negara
untuk diakui sebagai warisan dunia oleh UNESCO tahun ini. Akan tetapi,
setelah melalui penilaian para juri yang bersidang pada 20-24 November
2005 dengan ketua Putri Basma binti Talal dari Jordania, hanya 43 yang
diakui sebagai warisan budaya oral serta nonbendawi manusia (intangible
cultural heritage of humanity). Sementara mahakarya (masterpiece) yang
diakui UNESCO tahun 2001 serta tahun 2003, termasuk wayang, jumlahnya
47. Maka, total mahakarya warisan budaya dunia yang diakui 90.
”Proklamasi yang ketiga kali ini kemungkinan adalah yang terakhir.
Konvensi akan segera dilaksanakan segera setelah 30 negara memiliki
instrumen ratifikasi dan disetujui, seperti yang sudah dilakukan 26
negara sebelumnya,” ungkap Matsuura. Ratusan ribu dollar AS per tahun
diperkirakan akan mengalir guna melestarikan keris Indonesia dan juga
wayang.
”Lewat momentum penghargaan UNESCO ini mestinya kita menata
kembali pandangan tentang keris,” ungkap Ir Haryono Haryoguritno, pakar
keris yang memimpin tim riset pustaka dan lapangan juga diskusi selama
setahun sejak Agustus 2004.
Laporan keris
Setelah mendatangi komunitas perkerisan di Jawa Tengah, Jawa
Timur, Madura, Bali, dan Lombok, Haryono yang dibantu Waluyo Wijayatno
dari perkumpulan penggemar keris Damartaji dan warga negara Indonesia
asal Australia, Gaura Mancacaritadipura, merangkumnya dalam sebuah
laporan tebal untuk UNESCO. Juga diserahkan film budaya perkerisan yang
berdurasi 10 menit serta 120 menit. Kalau selama ini banyak media cetak
maupun elektronik lebih sering mengekspos ”pandangan-pandangan miring”
yang dihubungkan dengan mistik buruk keris (dalam sinetron-sinetron
perdukunan), maka menurut Haryono, semestinya kini Indonesia juga
menyadari betapa dunia ternyata menghargai warisan budaya nenek moyang
yang dalam beberapa kesempatan sering disingkirkan oleh bangsa Indonesia
sendiri. ”Keris, selama ini sering digambarkan di (sinetron-sinetron)
televisi, bisa terbang, atau bersinar-sinar, dan lekat dengan dunia
dukun,” kata Waluyo. Atau kalangan awam, yang selalu menghubungkan sosok
keris dengan Empu Gandring serta dongeng Ken Arok, yang membunuh empu
pembikinnya tersebut dengan keris yang dipesannya. Sang empu mengutuk,
keris yang sebenarnya belum selesai dibikin itu akan makan korban tujuh
turunan, termasuk Ken Arok sendiri. Keris selama ini dipandang dekat
dengan dunia perdukunan, sementara negeri tetangga, Singapura, malah
sudah lebih dulu memakai identitas keris sebagai kebanggaan mereka.
Maskapai penerbangan negeri ini, Singapore Airlines, memakai Kris Lounge
sebagai ruang tunggu VIP bagi para penumpangnya di bandar udara. Atau
KrisFlyer, sebuah layanan bagi mereka yang sering menggunakan jasa
maskapai tersebut. KrisMagazine untuk majalah mereka, dan KrisShop untuk
layanan jualan suvenir mereka di pesawat.
Karya Agung
UNESCO memandang keris memiliki nilai luar biasa sebagai karya
agung ciptaan manusia. Selain berakar dalam tradisi budaya dan sejarah
masyarakat Indonesia, keris juga masih berperan sebagai jati diri
bangsa, sumber inspirasi budaya, dan masih berperan sosial di
masyarakat. Jika usulan wayang sampai empat kali dikembalikan
laporannya—sebelum diakui sebagai warisan dunia 2003—usulan keris
langsung diterima.
”Indonesia perlu bangga,” ungkap Matsuura, yang sempat mengoreksi
cara seorang pejabat Indonesia menarik sebilah keris dari warangkanya
itu. Meski orang Jepang, Matsuura lebih berminat terhadap produk budaya
asal Indonesia ini. Tidak sekadar tahu.
Anatomi atau Ricikan Keris
Anatorni keris dikenal juga dengan istilah ricikan keris. Berikut ini akan diuraikan anatorni keris satu persatu :
1. Ron Dha, yaitu ornamen pada huruf Jawa Dha.
2. Sraweyan, yaitu dataran yang merendah di belakang sogogwi, di atas ganja.
3. Bungkul, bentuknya seperti bawang, terletak di tengah-tengah dasar bilah dan di atas ga~qa.
4. Pejetan, bentuknya seperti bekas pijatan ibu jari yang terletak di belakang gandik.
5. Lambe Gajah, bentuknya menyerupai bibir gajah. Ada yang rangkap dan Ietaknya menempel pada gandik.
6. Gandik, berbentuk penebalan agak bulat yang memanjang dan terletak di atas sirah cecak atau ujung ganja.
7. Kembang Kacang, menyerupai belalai gajah dan terletak di gandik bagian atas.
8. Jalen, menyerupai taji ayam jago yang menempel di gandik.
9. Greneng, yaitu ornamen berbentuk huruf Jawa Dha ( ) yang berderet.
10. Tikel Alis, terletak di atas pejetan dan bentuknya rnirip alis mata.
11. Janur, bentuk lingir di antara dua sogokan.
12. Sogokan depan, bentuk alur dan merupakan kepanjangan dari pejetan.
13. Sogokan belakang, bentuk alur yang terletak pada bagian belakang.
14. Pudhak sategal, yaitu sepasang bentuk menajam yang keluar dari bilah bagian kiri dan kanan.
15. Poyuhan, bentuk yang menebal di ujung sogokan.
16. Landep, yaitu bagian yang tajam pada bilah keris.
17. Gusen, terletak di be!akang landep, bentuknya memanjang dari sor-soran sampai pucuk.
18. Gula Milir, bentuk yang meninggi di antara gusen dan kruwingan.
19. Kruwingan, dataran yang terietak di kiri dan kanan adha-adha.
20. Adha-adha, penebalan pada pertengahan bilah dari bawah sampal ke atas.
Kekuatan Simbolik Keris Terletak pada "Pamor"
Keris tidak dapat terpisahkan dengan peradaban Jawa. Dalam
pandangan masyarakat Jawa, keris atau curiga merupakan salah satu pusaka
kelengkapan budaya. Kekuatan simbolik keris dipercayai masyarakat Jawa
terletak pada pamor, yaitu bahan campuran pembuatan keris berupa besi
meteor. Jenis bahan ini mengandung unsur besi dan nikel.
"Pamor adalah benda berasal dari angkasa. Di antara besi pamor
terkenal adalah 'pamor Prambanan'. Disebut demikian karena meteor ini
jatuh di daerah Prambanan sekitar tahun 1784 di masa pemerintahan
Susuhunan Paku Buwana III di Surakarta," demikian kata Guru Besar
Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Dr Timbul Haryono MSc dalam pidato
pengukuhannya di depan Rapat Senat Terbuka UGM, Sabtu (27/4). Dosen
Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya dan Pascasarjana UGM itu
membawakan pidato berjudul "Logam dan Peradaban Manusia dalam Perspektif
Historis- Arkeologis".
Dikatakan Timbul, pamor tersebut sampai sekarang masih disimpan
di Keraton Surakarta dan diberi nama Kiai Pamor. Penelitian laboratoris
terhadap meteor itu menunjukkan kandungan unsurnya adalah 94,5 persen
besi dan 5 persen nikel. Jenis batu pamor lainnya adalah pamor Luwu yang
asalnya dari Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Berdasarkan bahan
pembuatan keris, proses pembuatan keris peradaban Jawa secara simbolik
identik dengan konsep persatuan "bapa akasa-ibu pertiwi". Bahan besi
diperoleh dari perut Bumi (Ibu Pertiwi) dan bahan pamor adalah meteor
jatuh dari angkasa (bapa akasa). Keduanya kemudian disatukan menjadi
senjata keris
MAKNA DESIGN KERIS
PULANG GENI merupakan salah satu dapur keris yang populer dan
banyak dikenal karena memiliki padan nama dengan pusaka Arjuna. Pulang
Geni bermakna Ratus atau Dupa atau juga Kemenyan. Bahwa manusia hidup
harus berusaha memiliki nama harum dengan berperilaku yang baik, suka
tolong menolong dan mengisi hidupnya dengan hal-hal atau aktifitas yang
bermanfaat bagi bangsa dan negara. Dengan berkelakuan yang baik dan
selalu menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi orang banyak, tentu
namanya akan selalu dikenang walaupun orang tersebut sudah meninggal.
Oleh karena itu, Keris dapur Pulang Geni umumnya banyak dimiliki oleh
para pahlawan atau pejuang.
KIDANG SOKA memiliki makna Kijang yang berduka. Bahwa hidup
manusia akan selalu ada Duka, tetapi manusia diingatkan agar tidak
terlalu larut dalam duka yang dialaminya. Kehidupan masih terus berjalan
dan harus terus dilalui dengan semangat hidup yang tinggi. Keris ini
memang memiliki ciri garap sebagaimana keris tangguh Majapahit. Tetapi
melihat pada penerapan pamor serta besinya, tidak masuk dikategorikan
sebagai keris yang dibuat pada jaman Majapahit. Oleh karena itu, dalam
pengistilahan perkerisan dikatakan sebagai keris Putran atau Yasan yang
diperkirakan dibuat pada jaman Mataram. Kembang Kacang Pogog semacam ini
umumnya disebut Ngirung Buto.
SABUK INTEN, merupakan salah satu dapur keris yang melambangkan
kemakmuran dan atau kemewahan. Dari aspek filosofi, dapur Sabuk Inten
melambangkan kemegahan dan kemewahan yang dimiliki oleh para pemilik
modal, pengusaha atau pedagang pada jaman dahulu. Keris Sabuk Inten ini
menjadi terkenal, selain karena legendanya, juga karena adanya cerita
silat yang sangat populer berjudul Naga Sasra Sabuk Inten karangan Sabuk
Inten karangan S.H. Mintardja pada tahun 1970-an.
NAGA SASRA adalah salah satu nama Dapur Keris Luk 13 dengan
Gandik berbentuk kepala Naga yang badannya menjulur mengikuti sampai ke
hampir pucuk bilah. Salah satu Dapur Keris yang paling terkenal walaupun
jarang sekali dijumpai adanya keris Naga Sasra Tangguh tua. Umumnya
keris dapur Naga Sasra dihiasi dengan kinatah emas sehingga
penampilannya terkesan indah dan lebih berwibawa. Keris ini memiliki
gaya seperti umumnya keris Mataram Senopaten yang bentuk bilahnya
ramping seperti keris Majapahit, tetapi besi dan penerapan pamor serta
gaya pada wadidhangnya menunjukkan ciri Mataram Senopaten. Sepertinya
berasal dari era Majapahit akhir atau bisa juga awal era Mataram
Senopaten (akhir abad ke 15 sampai
awal abad ke 16). Keris ini dulunya memiliki kinatah Kamarogan
yang karena perjalanan waktu, akhirnya kinatah emas tersebut hilang
terkelupas. Tetapi secara keseluruhan, terutama bilah masih bisa
dikatakan utuh. Keris Dapur Naga Sasra berarti Ular yang jumlahnya
seribu (beribu-ribu) dan juga dikenal sebagai keris dapur Sisik Sewu.
Dalam budaya Jawa, Naga diibaratkan sebagai Penjaga. Oleh karena itu
banyak kita temui pada pintu sebuah Candi ataupun hiasan lainnya yang
dibuat pada jaman dahulu. Selain Penjaga, Naga juga diibaratkan memiliki
wibawa yang tinggi. Oleh karena itu, Keris dengan dapur Naga Sasra
memiliki nilai yang lebih tinggi daripada keris lainnya.
SENGKELAT, adalah salah satu keris dari jaman Mataram Sultan
Agung (sekitar awal abad ke 17). Dapur Keris ini adalah Sengkelat. Pamor
keris sangat rapat, padat dan halus. Ukuran lebar bilah lebih lebar
dari keris Majapahit, tetapi lebih ramping daripada keris Mataram era
Sultan Agung pada umumnya. Panjang bilah 38 Cm, yang berarti lebih
panjang dari Keris Sengkelat Tangguh Mataram Sultan Agung umumnya.
Bentuk Luk nya lebih rengkol dan dalam dari pada keris era Sultan Agung
pada umumnya. Gonjo yang digunakan adalah Gonjo Wulung (tanpa pamor)
dengan bentuk Sirah Cecak runcing dan panjang dengan buntut urang yang
nguceng mati. Kembang Kacang Nggelung Wayang. Jalennya pendek dengan
Lambe Gajah yang lebih
panjang dari Jalen. Sogokan tidak terlalu dalam dengan Janur yang
tipis tetapi tegas sampai ke pangkal bilah. Wrangka keris ini
menggunakan gaya Surakarta yang terbuat dari Kayu Cendana.
RAGA PASUNG, atau Rangga Pasung memiliki makna sesuatu yang
dijadikan sebagai Upeti. Dalam hidup di dunia, sesungguhnya hidup dan
diri manusia ini telah diupetikan kepada Tuhan YME. Dalam arti bahwa
hidup manusia ini sesungguhnya telah diperuntukkan untuk beribadah,
menyembah kepada Tuhan YME. Dan karena itu kita manusia harus ingat
bahwa segala sesuatu yang kita miliki di dunia ini sesungguhnya semu dan
kesemuanya adalah milik Tuhan YME.
BETHOK BROJOL, adalah keris dari tangguh Tua juga. Keris semacam
ini umumnya ditemui pada tangguh Tua seperti Kediri/Singosari atau
Majapahit. Dikatakan Bethok Brojol karena bentuknya yang pendek dan
sederhana tanpa ricikan kecuali Pijetan sepeti keris dapur Brojol.
PUTHUT KEMBAR, oleh banyak kalangan awam disebut sebagai Keris
Umphyang. Padahal sesungguhnya Umphyang adalah nama seorang mPu, bukan
nama dapur keris. Juga ada keris dapur Puthut Kembar yang pada bilahnya
terdapat rajah dalam aksara Jawa kuno yang tertulis “Umpyang Jimbe”. Ini
juga merupakan keris buatan baru, mengingat tidak ada sama sekali dalam
sejarah perkerisan dimana sang mPu menuliskan namanya pada bilah keris
sebagai Label atau “trade mark” dirinya. Ini merupakan kekeliruan yang
bisa merusak pemahaman terhadap budaya perkerisan. Puthut, dalam
terminologi Jawa bermakna Cantrik, atau orang yang membantu atau menjadi
murid dari seorang Pandhita / mPu pada jaman dahulu. Bentuk Puthut ini
konon berasal dari legenda tentang cantrik atau santri yang diminta
untuk menjaga sebilah pusaka oleh sang Pandhita. Juga diminta untuk
terus berdoa dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Bentuk orang
menggunakan Gelungan di atas kepala, menunjukkan adat menyanggul rambut
pada jaman dahulu. Bentuk wajah, walau samar tetapi masih terlihat jelas
guratannya. Beberapa kalangan menyebutkan bahwa dapur Puthut mulanya
dibuat oleh mPu Umpyang yang hidup pada era Pajang awal. Tetapi inipun
masih belum bisa dibuktikan secara ilmiah karena tidak didukung oleh
bukti-bukti sejarah.
Pajang, dalam buku Negara Kertagama yang ditulis pada jaman
Majapahit, disebutkan adanya Pajang pada jaman tersebut. Oleh karena
itu, sangat sulit untuk mengidentifikasi, apakah keris dengan besi
Majapahit tetapi juga ada ciri keris Pajang bisa dikatakan tangguh
Pajang – Majapahit, yang berarti keris buatan Pajang pada era Majapahit
akhir (?).
Keris Lurus SUMELANG, dalam bahasa Jawa bermakna kekhawatiran
atau kecemasan terhadap sesuatu. Sedangkan Gandring memiliki arti setia
atau kesetiaan yang juga bermakna pengabdian. Dengan demikian, Sumelang
Gandring memiliki makna sebagai bentuk dari sebuah kecemasan atas
ketidaksetiaan akibat adanya perubahan. Ricikan keris ini antara lain :
gandik polos, sogokan satu di bagian depan dan umumnya dangkal dan
sempit, serta sraweyan dan tingil. Beberapa kalangan menyebutkan bahwa
keris dapur Sumelang Gandring termasuk keris dapur yang langka atau
jarang ditemui walau banyak dikenal di masyarakat perkerisan.
(Ensiklopedia Keris : 445-446). Konon salah satu pusaka kerajaan
Majapahit ada yang bernama Kanjeng Kyai
Sumelang Gandring. Pusaka ini hilang dari Gedhong Pusaka Keraton.
Lalu Raja menugaskan mPu Supo Mandangi untuk mencari kembali pusaka
yang hilang tersebut. Dari sinilah berawal tutur mengenai nama mPu
Pitrang yang tidak lain juga adalah mPu Supo Mandrangi. (baca :
Ensiklopedia Keris : 343-345).
TILAM UPIH, dalam terminologi Jawa bermakna tikar yang terbuat dari anyaman daun untuk tidur. Diistilahkan untuk menunjukkan ketenteraman keluarga atau rumah tangga. Oleh karena itu banyak sekali pusaka keluarga yang diberikan secara turun-temurun dalam dapur tilam Upih. Ini menunjukkan adanya harapan dari para sesepuh keluarga agar anak-cucunya nanti bisa memperoleh ketenteraman dan kesejahteraan dalam hidup berumah tangga.
Sedangkan Pamor ini dinamakan UDAN MAS TIBAN. Ini karena terlihat
dari penerapan pamor yang seperti tidak direncanakan sebelumnya oleh si
mPu. Berbeda dengan kebanyakan Udan Mas Rekan yang bulatannya sangat
rapi dan teratur, Udan Mas Tiban ini bulatannya kurang begitu teratur
tetapi masih tersusun dalam pola 2-1-2. Pada tahun 1930-an, yang
dimaksud dengan pamor Udan Mas adalah Pamor Udan Mas Tiban yang
pembuatannya tidak direncanakan oleh sang mPu (bukan pamor rekan). Ini
dikarenakan pamor Udan Mas yang rekan dicurigai sebagai pamor buatan
(rekan). Tetapi toh juga banyak keris pamor udan mas rekan yang juga
merupakan pembawaan dari jaman dahulu.
Oleh banyak kalangan, keris dengan Pamor Udan Mas dianggap
memiliki tuah untuk memudahkan pemiliknya mendapatkan rejeki. Dengan
rejeki yang cukup,diharapkan seseorang bisa membina rumah tangga dan
keluarga lebih baik dan sejahtera.Lar GangSir konon merupakan
kepanjangan dari GeLAR AgeMan SIRo yang memiliki makna bahwa Gelar atau
jabatan dan pangkat di dunia ini hanyalah sebuah ageman atau pakaian.
Suatu saat tentu akan ditanggalkan. Karena itu jika kita memiliki
jabatan/pangkat atau kekayaan, maka janganlah kita SOMBONG dan TAKABUR
(Jawa = Ojo Dumeh).
Jangan mentang-mentang memiliki kekuasaan, pangkat dan jabatan
atau kekayaan, maka kita bisa seenaknya sendiri sesuai keinginan kita
tanpa memikirkan kepentingan orang lain.
Kesimpulan
Dalam dunia keris terdapat tiga kelompok pandangan yang berbeda. Pandangan pertama yang berkembang bahwa :
1. Keris adalah hasil kebudayaan, kagunan, atau kesenian.
2. Kemudian pandangan kedua yang telah sejak lama berkembang di
kalangan masyrakat (Jawa), secara umum lebih meyakini bahwa keris
merupakan senjata pusaka dikarenakan daya gaib atau tuah yang
dimilikinya.
3. Sedangkan menurut pandangan ketiga yang berkembang di kalangan
yang sangat terbatas, keris merupakan pusaka dengan berbagai variasi
pemaknaannya dan dinyatakan dengan istilah-istilah yang hanya dikenali
oleh kalangan tersebut.Terutama makna-makna sosial, historis, filosofis,
etis dan religius-mistis.
Dari ketiga pandangan diatas dapat kita ketahui bahwa keris
merupakan karya agung yang harus dilestarikan. Karena jika dilihat dari
kacamata desain, sebuah keris memiliki berbagai keunikan yang sangat
spesifik. Terbukti dengan penamaan setiap lekuk yang begitu detail
disetiap bagiannya.
Jika ditilik dari makna yang terkandung pada sebilah keris,
disitu tercermin kearifan lokal terutama masyarakat jawa yang menjadikan
keris sebagai simbol kekuatan sekaligus mewakili karakter yang
memilikinya. Desain keris mempunyai kekuatan tersendiri dalam membentuk
kearifan lokal yang selanjutnya bisa menjadi indicator kebudayaan di
suatu tempat.
Sumber : " Makalah berjudul sama karya Warto, kandidat dosen jurusan Dakwah STAIN Purwokerto