Keinginan kembali dan memperbaiki
nasib di negeri sendiri gagal karena kurang modal dan tanah susah
diolah. Mereka kembali ke "negeri pengasingan."
DI
sudut ruang pamer Erasmus Huis, Jakarta, di mana sekira 60 foto orang
Jawa-Suriname dipamerkan dari 20 September-15 November 2014, film pendek
berjudul Javaanse Jongen: Its Way of Life diputar berulang-ulang. Soundtrack-nya
lagu pop Jawa-Suriname berjudul “Lagu Tentrem”, dinyanyikan Stanlee
Rabidin yang juga tokoh sentral film tersebut. Dalam pameran ini juga
tersedia belasan buku mengenai Jawa-Suriname yang bisa dibaca
pengunjung.
Tahun depan, genap 125 tahun migrasi
orang Jawa ke Suriname, koloni Belanda. Mereka menjadi pekerja kontrak
di perkebunan sebagai pengganti budak yang dilarang tahun 1863. Sebelum
mereka, pekerja kontrak berasal dari India-Britania, yang banyak ulah
dan menuntut upah besar.
Gelombang pertama imigran dari Jawa
datang pada 1890. Mereka, berjumlah seratus orang Jawa, ditempatkan di
Marienburg, perkebunan tebu terbesar di Suriname. Periode 1890-1916,
rerata orang Jawa datang ke Suriname berjumlah 700 orang per tahun.
Jumlahnya berlipat pada 1916 setelah pekerja kontrak India-Britania tak
lagi dipakai.
Pekerja kontrak dari Jawa meneken kontrak
kerja selama lima tahun. Gajinya 60 sen untuk pekerja pria dan 40 sen
untuk pekerja perempuan. Setelah kontrak selesai, mereka diizinkan
pulang ke Jawa. Jika ingin menetap, mereka diberi uang 100 gulden dan
sepetak tanah.
Kehidupan kuli kontrak mengenaskan.
Pemerintah tak menyediakan sarana pendidikan. Pemerintah khawatir, jika
mereka menjadi pandai, mereka keluar dari perkebunan dan bekerja di
kota.
Johannes Coenraad Kielstra, mantan wakil
jaksa di Hindia Belanda yang jadi gubernur Suriname (1933-1944), membuat
kebijakan baru terhadap pekerja kontrak. Dia ingin membuat Suriname
menjadi lebih berasa Asia. Imigran yang datang tidak ditempatkan
langsung di perkebunan, melainkan disiapkan desa-desa khusus. Di desa
ini, para imigran, termasuk dari Jawa, berhak membuat aturan sipil
sendiri dan mengembangkan budaya asli mereka.
Hingga jelang Perang Dunia II, jumlah
imigran dari Jawa mencapai 30 ribu orang. Tercatat 7.684 orang kembali
ke Jawa ketika perang berakhir.
Gema kemerdekaan Indonesia sampai ke
Suriname. Muncul keinginan kembali ke Jawa karena mereka merasa seperti
di pengasingan. Namun mereka juga dihadapkan pada masalah
kewarganegaraan. Pemerintah Belanda memberi waktu dua tahun kepada orang
Jawa untuk memilih kewarganegaraan: warganegara Indonesia atau Belanda.
Situasi politik Suriname pun mendukung
hal ini. Partai politik bisa dibentuk berdasarkan etnis. Orang Jawa
membentuk dua partai: Persekutuan Bangsa Indonesia Suriname (PBIS) dan
Kaum Tani Persatuan Indonesia (KTPI).
KTPI, dipimpin Iding Soemita, memiliki
komitmen memperbaiki nasib orang Jawa di Suriname dan menganjurkan
anggotanya menjadi warganegara Indonesia. Sementara PBIS, dengan
pentolannya, Salikin Hardjo, menganjurkan pendukungnya memilih
warganegara Belanda. Ketika Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada
1949, Salikin ditunjuk sebagai wakil masyarakat Jawa di Suriname.
Pendirian Salikin berubah setelah
pengakuan kedaulatan. Dia mendirikan Jajasan ke Tanah Air (JTA) pada Mei
1951, yang mendorong orang Jawa Suriname kembali ke Jawa. Dalam waktu
singkat dia berhasil menghimpun 2.000 keluarga.
Pemerintah Indonesia menerima permintaan
JTA dengan syarat repatriasi tidak ditujukan ke Jawa karena sudah padat.
Pemerintah memberi lahan seluas 2.500 hektar di daerah Tongar, sebelah
utara Pasaman, Sumatra Barat. Mereka tiba di Tongar dengan kapal
Lengkoeas pada 1954 dan mendirikan desa.
Asa membangun kehidupan yang lebih baik
di negeri asal, buyar. Mereka menghadapi kesulitan keuangan. Tanah juga
sulit diolah. Beberapa dari mereka akhirnya memilih kembali ke “tanah
pengasingan”.
“Hanya hutan. Tak ada rumah, tak ada
tempat buang hajat. Hanya barak besar yang disediakan. Setiap keluarga
diberi jatah 4x4 meter. Tahun 1959, kami pindah ke Padang, sebab keadaan
di sana tidak aman. Dan bulan Oktober 1964, kami memutuskan pulang
kembali ke Suriname,” ujar Roemdjinah Wagina Soenawi, seperti dikutip
Yvette Kopijn dan Harriette Mingoen dalam Stille Passanten: Levensverhalen van Javaans-Surinaamse Ouderen in Nederland.
Karena kesulitan itu, Salikin kena hujat.
Orang Jawa di Suriname pun memutuskan tidak pulang ke Indonesia dan
memilih menjadi warganegara Belanda.
(Historia - Aryono)
Sumber : historia.co.id