Psikologi Konsumen: Saya Suka Ini, Tapi Tidak Tahu Mengapa


Siapapun pernah mengalami ini, suka barang lalu dibeli tanpa tahu alasan lain untuk beli selain suka. Bermula dari iklan di televisi, bentuk kemasan yang unik, atau karena ramai yang membicarakannya. Fenomena ini pernah diteliti secara ilmiah dan ditulis dalam sebuah jurnal. Seperti ini kira-kira rangkumannya.

Peneliti menyediakan 2 buah pulpen yang berkualitas sangat baik atau disebut superior, satu lainnya berkualitas biasa atau disebut inferior. Supaya lebih kekinian, saya akan mengganti objeknya dengan smartphone, bukan pulpen.

Smartphone ini dihilangkan identitasnya sehingga tidak ada satupun dari partisipan yang tahu brand produk tersebut. Peneliti ingin menguji efektifitas marketing pada produk tersebut sehingga diketahui apa yang dipilih partisipan.

Sebagai awal, semua partisipan diperlihatkan 20 gambar dengan image positif yang dihubungkan dengan smartphone inferior, juga diperlihatkan 20 gambar dengan image negatif yang dihubungkan dengan smartphone superior.

Kemudian partisipan diajak menonton beberapa iklan menarik termasuk diantaranya ada iklan untuk kedua produk tersebut. Salah satu iklan menunjukkan smartphone superior memang yang terbaik  di antara keduanya.

Partisipan dibagi menjadi dua grup. Grup pertama diminta untuk menilai kualitas produk (smartphone dan produk lainnya) berdasarkan klaim yang disebutkan di iklan. Sementara grup kedua diminta menilai kualitas isi iklannya, bukan menilai produknya.

Kemudian setelahnya, peneliti bertanya partisipan untuk memilih produk smartphone mana yang akan mereka beli, dari grup pertama sebanyak 75% memilih untuk membeli smartphone superior, dari grup kedua sebanyak 70% memilih smartphone inferior.

Apa yang dapat disimpulkan dari riset di atas?
Pada kasus grup pertama, walaupun smartphone superior sudah dikoneksikan dengan image negatif, lalu dengan iklan yang paling bagus, ditambah mereka sudah uji kapasitas smartphone tersebut, orang-orang tetap memilih smartphone superior.

Menarik pada kasus grup kedua, sering terjadi di sekitar kita, walaupun iklannya kalah bagus, mayoritas di grup dua berpatokan pada image positif yang terbentuk di awal, sehingga pilihan produk jatuh ke smartphone inferior.

Seringkali pemilik bisnis terlalu fokus mempromosikan pada fitur dan kualitas produknya, namun keputusan konsumen membeli ditentukan oleh banyak hal yang terkait dengan image yang dimunculkan brand dan secara tidak sadar mengandalkan emosinya.
(sumber image)