Editor’s note: Artikel ini ditulis oleh Profesor Candida G.
Brush, Kepala Divisi Entrepreneur di Babson College, Massachusetts.
Beliau juga merupakan Kepala Fakultas Riset di Arthur M. Blank Center
for Entrepreneurship, dan Profesor Entrepreneur terkemuka Franklin W.
Olin College.
Apa itu budaya? Sebuah pola yang terbentuk dari asumsi-asumsi dasar dan sudut pandang seseorang atau sebuah tim.
Bukti nyata atau artifak dari sebuah budaya adalah cerita-cerita,
adat istiadat, simbol-simbol, kejadian-kejadian, cara orang berpakaian,
dan lay out ruangan. Bagi sebuah perusahaan, akar budaya itu haruslah
“get things done”.
Contohnya, cara mereka memandang waktu, apakah orang-orang bekerja
selama 24 jam atau mereka hanya bekerja dari jam 9 pagi sampai jam 5
sore? Asumsi tentang tempat kerja yang terbuka, terdiri dari
kubikel-kubikel atau tertutup di ruangan yang dibatasi oleh dinding?
Kemudian asumsi tentang orang-orang, apakah mereka pada dasarnya baik
dan bisa memotivasi diri sendiri. Atau justru pada dasarnya pemalas dan
harus dimotivasi dengan hukuman? Budaya dipelajari dalam sebuah
perusahaan dari peristiwa-peristiwa yang terjadi, dan apa saja hal-hal
yang diperhatikan oleh pengusaha, hal-hal apa saja yang diukur dan
dikontrol oleh founder/pengusaha.
Mengapa budaya penting pada sebuah perusahaan baru? Rata-rata
kegagalan sebuah perusahaan baru adalah sekitar 50-60% selama 2 tahun
pertama. Ketika bisnis akhirnya tutup, salah satu penyebab utama adalah
masalah leadership atau management yang seringkali dinyatakan sebagai
komposisi tim yang payah, tidak kompeten, dan semua yang bisa dikaitkan
secara langsung terhadap budayanya.
Risto Lahdesmaki, Founder IDEAN (sebuah startup yang membuat UX)
menjelaskan bahwa tujuan perusahaannya adalah membuat desain user
interface yang elegan untuk para pelanggannya dan mereka mengerjakannya
dengan senang hati. Ia mempelajari lingkungan untuk para karyawan yang
menyokong adanya perbedaan dan fleksibilitas. Dalam satu kata, budaya di
IDEAN sangat mengagumkan.
Selain budaya yang sengaja dibuat oleh foundernya, nampaknya mereka
banyak dipengaruhi oleh pengaruh di mana mereka berada, yaitu di Silicon
Vikings. Contoh lain pada perusahaan baru yang berlokasi di downtown
area Las Vegas misalnya, budaya yang terbentuk adalah dari komitmen
untuk menciptakan kebersamaan dan saling belajar satu sama lain.
Bagaimana membuat ini jadi kenyataan? Caranya, bisnis kecil, startup
teknologi dan organisasi lainnya perlu menganganggap berpartisipasi
memberikan komitmen mereka pada komunitas sama pentingnya dengan
sustainability bisnis model mereka.
Contoh lainnya, TicketCake, sebuah perusahaan yang membantu event
organizer memasarkan jasanya dan secara efektif melacak promosi dan
menaikkan penghasilan, pada awalnya didirikan di Utah, kemudian pindah
ke Las Vegas dikarenakan sifat kolaboratif dari komunitas startup di Las
Vegas.
Founder TicketCake, Joe Henriod, menyebutkan bahwa kata “cake”pada
nama perusahaannya merepresentasikan image positif dari kebahagiaan dan
perayaan, yang selaras dengan nilai inti dari “Down Town Project”
di Las Vegas. TicketCake secara eksplisit adalah tentang budayanya,
dengan sengaja mengkoneksikan budaya tersebut pada strategi untuk
growth.
Dari contoh-contoh di atas, bisa ditarik dua kesimpulan.
- Budaya didefinisikan harus bisa terkait dengan misi dan nilai-nilai perusahaan, tapi mereka juga harus komunikatif, memorable dan “lived” (membuat team lebih bersemangat). Ini akan membantu perusahaan untuk bertahan selama dinamika naik dan turun dari proses startup. Pada IDEAN, budayanya adalah “lived”.
- Budaya adalah sebuah “strategi” sumber daya utama, ditanam untuk tumbuh dan berkembang. Pada TicketCake, intinya adalah pada strateginya.
Untuk entrepreneur yang memulai bisnis barunya, tendensinya adalah
fokus pada pengembangan produk, dan bekerja pada teknologi. Tapi, budaya
membutuhkan harus dibuat dan harus ditanam sejak dini.
Sumber: http://onforb.es/1jNTZQj