Merebaknya kasus ijazah palsu
mendorong Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
(Menristek-Dikti) Muhammad Nasir tidak mewajibkan skripsi sebagai syarat
kelulusan mahasiswa S-1. Namun, sebagian akademisi menilai, skripsi
masih penting bagi mahasiswa.
Ketua Forum FKIP se-Indonesia Dr. Bujang Rahman, menjelaskan, salah
satu kompetensi dasar sarjana adalah kemampuan meneliti. Penguasaan skill tersebut
akan membuktikan bahwa mahasiswa S-1 bisa merespons berbagai masalah
dan fenomena di sekitar mereka melalui karya ilmiah.
"Selama ini kompetensi tersebut dituangkan dalam skripsi sebagai
indikatornya," ungkap Bujang seperti dikutip dari laman Universitas
Lampung (Unila), Kamis (4/6/2015).
Dia menilai, polemik wajib atau tidaknya skripsi tersebut sebaiknya
diserahkan ke para pemangku kebijakan di masing-masing perguruan tinggi.
"Sebab, perguruan tinggi memiliki otonomi dalam menentukan kebijakan
kampus mereka, termasuk soal kurikulum," imbuhnya.
Sementara itu, Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan (FKIP) Unila, Rochmiyati, memaparkan, praktik jual beli ijazah palsu
ataupun jasa pembuatan skripsi menandakan rendahnya mental serta
integritas mahasiswa. Dia menekankan pentingnya skripsi dalam
menciptakan para intelektual yang berpikir ilmiah bukan hanya praktis.
Menurutnya, penghapusan skripsi atau tugas akhir bisa saja diterapkan
di jenjang diploma atau politeknik sesuai pendidikannya yang lebih
bersifat praktis. Tetapi, lulusan S-1 seperti pada FKIP bukan sepenuhnya
praktisi. Selain mencetak tenaga pendidik siap pakai, kata Rochmiyati,
FKIP juga melahirkan saintis.
"Skripsi penting sebagai standar kelimuan, terutama menerapkan teori
kuliah guna menganalisis judul skripsinya," papar Rochmiyati.
Sumber : okezone
(rfa)