Kenyataan dalam kehidupan kita sehari-hari menunjukan bahwa tanpa pendidikan banyak orang yang bisa memenuhi kebutuhan hidup dan menyelesaikan masalah yang dihadapi. Kita seringkali memiliki pandangan bahwa hanya yang berpendidikan tinggi sampai memiliki gelar professor dan doktor yang bakal sukses dan arif. Namun, perlu kita sadari ada satu fakta yang tak bisa disangkal bahwa banyak yang berpendidikan tapi gagal dalam hidup karena tak mampu mengendalikan diri. Kisah-kisah korupsi dan nefotisme di negeri ini banyak dilakoni oleh para terdidik yang memiliki tingkat pendidikan tinggi bahkan professor dan doktor dari luar negeri.
Kita juga kadang-kadang merasa miris melihat stasiun TV yang menyiarkan tawuran antar mahasiswa di sejumlah daerah, mahasiswa terlibat perdagangan narkoba dll.
Begitu juga, setiap tahun banyak universitas di negeri ini yang dengan bangga mempublikasikan jumlah wisudawan mereka sampai ribuan jumlahnya dengan indeks prestasi diatas rata-rata bahkan lulus Cumlaude. Berbicara dalam hal kuantitas kita tidak kalah namun berbicara kualitas kita belum bisa berbuat banyak.
Kita juga patut bertanya-tanya, apa yang salah dengan pendidikan tinggi kita? Apakah bidang yang diambil oleh sang mahasiswa kurang relevan dengan yang dibutuhkan masyarakat atau memang kualitas mahasiswa kita yang makin memprihatinkan? Sulit untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Namun, kita juga tidak bisa serta-merta mengkambing hitamkan baik itu universitas maupun mahasiswa. Karena keberadaan seorang mahasiswa baik di universitas negeri maupun swasta telah melalui proses seleksi dan mungkin kompetisi. Selain itu, sang mahasiswa yang kuliah juga produk dari pendidikan dasar dan menengah kita saat ini. Jadi boleh dikatakan mahasiswa adalah hasil godokan dari sistim pendidikan kita sebelumnya, yakni SD, SMP dan SMU.
Rendahnya kualitas
Buruknya kualitas mahasiswa bukan hanya dalam kemampuan akademis yaitu berpikir secara kritis dan analitis dalam satu masalah tetapi juga kemauan untuk belajar dengan cara yang benar artinya seorang mahasiswa yang sedang kuliah bukan hanya mengejar nilai/IPK yang tinggi dalam satu mata kuliah atau terpenuhi jumlah SKS sehingga bisa meraih gelar sarjana-S1 dalam waktu singkat. Namun, sang mahasiswa sadar betul bahwa dia mengambil jurusan dan matakuliah yang memang dia ingin kuasai secara mendalam. Sehingga hasil yang dicapai bukan hanya nilai tinggi tetapi dia bisa menerapkannya juga.
Kenyataan lainnya adalah kebanyakan mahasiswa sekarang cenderung menyukai hal-hal yang bersifat instant. Mereka jarang mau kerja lembur baik itu di labor maupun di perpustakaan. Sehingga jangan heran labor dan perpustakaan sepi.
Perpustakaan akan ramai apabila ujian semester sudah dekat. Penulis tidak terkejut ketika melihat banyak mahasiswa sambil duduk dipingir jalan dan berpakaian hitam-putih begitu khusuk membaca buku. Ini mereka lakukan karena hari itu ada ujian semester, bukan karena mencontoh kebiasaan orang Jepang atau Eropa yang rajin membaca.
Ada juga kecendrungan yang harus diantisipasi yakni dengan adanya internet, usaha mencari data untuk memenuhi tugas kuliah tinggal copy dan paste saja. Ini sangat berbahaya kalau dibiarkan terus menerus. Karena sudah mengarah ke “plagiarism”. Kita kwatirkan nanti lulusan kita hanya bisa copy dan paste saja.
Hal-hal yang instant ini juga terlihat ketika sang mahasiswa gagal atau mengulang satu atau dua matakuliah. Dia tidak akan kuatir karena ada semester pendek. Jadi kalaupun gagal maka bisa diambil di semester pendek dan jumlah SKS untuk mengambil mata kuliah lebih banyak di semester yang akan datang akan terpenuhi. Bahkan lebih tragis lagi, rela menunda mengambil satu mata kuliah karena sang dosen yang mengajar sulit memberikan nilai tinggi.
Kemampuan Bahasa Asing
Menguasai Bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah suatu kewajiban karena merupakan identitas nasional bagi semua orang Indonesia. Akan tetapi menguasai Bahasa Inggris juga penting untuk kepentingan pergaulan international dalam berbagai bidang. Sangat disayangkan masih banyak kalangan mahasiswa yang masih belum bisa berbahasa Inggris.
Jangankan untuk membaca dan menulis, kemampuan berbicara dalam bahasa Inggris pun belum banyak yang bisa walaupun mereka sudah belajar Bahasa Inggris dari SD sampai SMU.Seharusnya sebagai calon-calon pemimpin masa depan, para mahasiswa kita minimal menguasai satu bahasa asing, misalnya Bahasa Inggris. Banyak factor yang menghambat, misalnya kurangnya dana, belum adanya keharusan dari univeritas dan bukan merupakan syarat untuk masuk sebuah universitas. Bahkan jurusan Bahasa Inggris di universitas baik negeri maupun swasta di Jambi belum mewajibkan calon mahasiswa S1 untuk bisa berbahasa Inggris misalnya dengan memiliki nilai TOEFL atau IELTS sebagai salah satu syarat masuk.
Upaya dengan Problem Based Learning
Rendahnya mutu mahasiswa perlu disikapi dengan arif dan bijaksana karena untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang baik memang gampang-gampang susah. Gampang kalau hanya berbicara tapi sulit untuk dikerjakan dan diterapkan. Sekarang yang diperlukan adalah kerjasama semua pihak di lingkungan perguruan tinggi.
Upay terpenting yang harus dilakukan adalah mendekatkan dunia nyata dengan dengan dunia kampus. Ini sangat memerlukan kesabaran dan kemampuan lebih dari sang dosen.
Berbagai kendala dan masalah yang dihadapai masyarakat atau dunia kerja serta solusinya harus dibawa ke dalam kampus.
Gaya belajar dan mengajar dengan PBL-Problem Based Learning sudah sangat populer di Eropa dan Belanda, khususnya di Universitiet Maastricht sebagai pelopor. Pendekatan ini dapat menstimulasi mahasiswa berpikir keluar dari batas-batas formal yang ada di dunia kampus yang hanya terfokus pada buku,diktat dan lain-lain karena masalah-masalah yang ditemui mangharuskan solusi yang tidak bisa didapat dibangku kuliah dan praktikum.
Pendekatan belajar dengan PBL juga memberikan mahasiswa informasi dan suasana apa yang sebenarnya akan mereka hadapi setelah lulus nanti. Berbagai tuntutan kerja akan mereka hadapi seperti kualitas kerja, tenggat waktu, keterbatasan sarana dan prasarana, sikap pimpinan, perlunya interpersonal dan intrapersonal skill dan lain.lain. disamping itu mereka juga akan menjumpai hal-hal yang sifatnya negatif dan bagaimana mereka menyikapinya seperti banyak pegawai yang bolos, hubungan yang kurang harmonis di dalam kantor, sikap pimpinan yang pilih kasih dll.
Peran Dosen
Dalam konteks ini seorang dosen berfungsi sebagai agen dan fasilitator serta motivator. Seorang dosen perlu memiliki mitra di luar kampus atau proyek-proyek atau lembaga-lembaga dan membawanya ke dunia kampus untuk dikenalkan dengan mahasiswa dan kalau perlu para mahasiswa dilibatkan di dalamnya. Tindakan seperti ini akan memberikan dampak lain pada mahasiswa yang selama ini hanya berkutat pada teori belaka dibangku kuliah. Suasana kuliah akan lebih terasa membumi karena mahasiswa tahu apa yang sebenarnya dia butuhkan sehingga akan memacu mahasiswa untuk memecahkan setiap persoalan yang dia hadapi.
Peran Jurusan Fakultas, dan Univesitas
PT memang diharuskan untuk membuka diri terhadap dunia luar. Masing-masing level pada universitas mulai dari program studi, jurusan sampai fakultas perlu menjalin kerjasama dengan berbagai lembaga dan perusahan di masyarakat. Apa lagi bagi PT yang sudah memiliki Deputy Rektor IV atau pembantu rektor IV, sangat memungkinkan untuk melakukan kerjasama dengan berbagai pihak di samping menjalin kerjasama juga untuk mempromosikan kualitas mahasiswa yang dimiliki agar terpakai dan diakui dunia di luar kampus.
(Penulis adalah Dosen FKIP UNJA, Alumnus IFP-Ford di Maastricht University dan Rijksuniversiteit Groningen, The Netherlands dan Alumnus PPS IAIN STS sekaligus Dosen Luar Biasa IAIN STS Jambi)