Yogyakarta - Puji Utomo dan Atik Winarti tak menyangka bisa
kuliah di kampus Universitas Gadjah Mada. Berasal dari keluarga kurang
mampu, kuliah di UGM justru memupuk semangat mereka untuk meraih
cita-cita. Tak menyia-nyiakan kesempatan setelah kuliah selama kurang
lebih 4 tahun, mereka bisa lulus dengan predikat Cum Laude pada wisuda
Sarjana UGM pada 17 Februari lalu.
Puji Utomo, menceritakan bahwa
orang tuanya adalah penjual ikan di pasar Juwana, Pati, Jawa Tengah.
Setiap hari, orangtuanya berangkat menjelang tengah malam dan pulang
pada esok hari. Menjadi penjual ikan dilakoni orangtuanya dalam 6 tahun
terakhir.
Anak dari Pasangan Waso dan Rudiah ini mengaku hanya ia
sendiri yang menikmati bangku kuliah dari 6 saudaranya. Keterbatasan
ekonomi menyebabkan saudaranya memilih langsung bekerja dan menikah
setelah tamat sekolah. "Dulu bapak tukang becak," kata Puji yang lulus
sarjana teknik sipil UGM dengan predikat lulusan terbaik .
Puji
menceritakan saat lulus SMA, ia mendaftar kuliah di UGM melalui jalur
beasiswa Bidik Misi. Setelah dinyatakan lulus, Puji meyakinkan orangtua
bahwa dirinya tidak akan meminta uang untuk biaya kuliah. Sebaliknya
hasil tabungannya dari sisa uang saku beasiswa, digunakan membantu
tambah modal usaha bisnis ikannya yang sempat merugi. "Alhamdulillah
sekarang usaha bapak sudah lancar," kata pemuda 22 tahun tersebut.
Uang
saku sebesar Rp 600 ribu sebulan selama 4 tahun digunakan untuk
mencukupi kebutuhan biaya hidup selama kuliah. Namun dengan bertambah
tahun, kebutuhan kuliah pun menjadi semakin bertambah. Alhasil, Puji
sempat tinggal dan menjadi penjaga masjid di daerah pogung utara. Dia
pun sempat mengajar pada anak-anak difabel.
"Di kelas anak-anak difabel saya sempat ngajar dua bulan," kata Puji.
Meski
memiliki pekerjaan sampingan di luar kuliah, Puji tetap selalu
memperhatikan kuliahnya. Mahasiwa angkatan 2010 ini pun bisa lulus
dengan predikat Cum Laude dengan IPK 3,86. Kini setelah lulus, Puji
berencana untuk kembali ke desanya di Bakaran Wetan, Juwana, Pati.
"Saya
ingin ikut gerakan sarjana pulang bangun ke desa," kata Puji yang
sempat ditawari mengajar di salah satu perguran tinggi di Lombok.
Sementara itu Atik winarti, lulusan sarjana ilmu peternakan
menyelesaikan kuliah dalam waktu 4,4 bulan dengan IPK 3,78. Wanita asal
Babadan, Gunung Jati, Cirebon ini menceritakan bahwa dirinya terpaksa
menambah kuliah satu semester karena penelitian skripsi.
Dikarenakan beasiswa Bidik Misi hanya berlaku 8 semester, maka Atik harus membiayai kuliahnya sendiri selama 1 semester. Sisa tabungan uang saku beasiswa ternyata hanya cukup untuk biaya SPP dan uang kontrakan yang sudah jatuh tempo. Atik pun harus rela makan satu kali sehari.
"Saya sempat 2 hari tidak makan, hanya minum saja, padahal saya sambil harus tetap ngajar," kenang juara tiga dalam Debat Mahasiswa Peternakan Tingkat Nasional.
Selama 6 bulan, Atik hidup prihatin. Namun Atik tetap tidak ingin membebani ayahnya yang kini sudah tidak lagi bekerja sebagai buruh bangunan karena faktor usia. Sementara ekonomi keluarga hanya mengandalkan ibunya yang menjadi buruh pengrajin rotan.
Bagi Atik, hidup dengan mengencangkan ikat pinggang menjadi hal biasa baginya. Atik pun mengajar les privat untuk anak-anak SD. Atik pun sempat berjualan kue bersama teman-temannya di alun-alun selatan pada malam hari. "Kita harus bisa survive. Harus irit. Dari mengajar ini, saya dapat Rp 300 ribu sebulan," tandas Atik. (Riz)
Dikarenakan beasiswa Bidik Misi hanya berlaku 8 semester, maka Atik harus membiayai kuliahnya sendiri selama 1 semester. Sisa tabungan uang saku beasiswa ternyata hanya cukup untuk biaya SPP dan uang kontrakan yang sudah jatuh tempo. Atik pun harus rela makan satu kali sehari.
"Saya sempat 2 hari tidak makan, hanya minum saja, padahal saya sambil harus tetap ngajar," kenang juara tiga dalam Debat Mahasiswa Peternakan Tingkat Nasional.
Selama 6 bulan, Atik hidup prihatin. Namun Atik tetap tidak ingin membebani ayahnya yang kini sudah tidak lagi bekerja sebagai buruh bangunan karena faktor usia. Sementara ekonomi keluarga hanya mengandalkan ibunya yang menjadi buruh pengrajin rotan.
Bagi Atik, hidup dengan mengencangkan ikat pinggang menjadi hal biasa baginya. Atik pun mengajar les privat untuk anak-anak SD. Atik pun sempat berjualan kue bersama teman-temannya di alun-alun selatan pada malam hari. "Kita harus bisa survive. Harus irit. Dari mengajar ini, saya dapat Rp 300 ribu sebulan," tandas Atik. (Riz)
Sumber : liputan6.com